BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sungguh dalam Islam telah
menetapkan dasar-dasar dan menegakkan sandaran untuk membangun keluarga dan
melindunginya dengan sesuatu yang besar. Termasuk bagian dari permasalahan
manusia adalah munculnya perselisihan diantara mereka. Maka timbullah
pertentangan ketika saling berlawanan atau ketidaksenangan karakter dalam
keluarga yang berupa perselisihan dan kedekatan, terkadang terjadi kebosanan
sehingga menjadikan udara didalam keluarga berembus dengan awan tebal.
Dalam hal ini, Islam mengakui
adanya kemungkinan terjadinya perselisihan antara suami istri dan pertentangan
dalam lingkungan keluarga, memberikan penyelesaian, memberitahukan berbagai
penyebabnyayang berjalan bersama peristiwa ang telah terjadi. Islam tidak membiarkan
dan mengabaikan permasalahan hingga berlarut-larut yang timbul didalam keluarga
karena pengabaian tidak dapat mengatasi berbagai kesulitan hidup sedikit pun.
Dari sinilah Islam memandang
kemungkinan yang terjadi antara suami istri, dan memberikan obat atau solusi
dalam setiap keadaan. Karena sesungguhnya nusyuz
dan banyaknya perbedaan tampak tidak sehat dalam kehidupan keluarga.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan
pemahaman tentang An-Nusyuz (kedurhakaan),
maka melalui makalah ini akan dipaparkan tentang materi tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Nusyuz?
2.
Apa saja Macam-macam Nusyuz?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
nusyuz.
Nusyuz secara bahasa memiliki asal
katanazyaya-yansyuzunasyazan wa nusyuzan, yang berarti meninggi,
menonjol, durhaka, menentang, atau bertindak kasar.[1]Sikap
tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri atau perubahan sikap
suami atau isteri. Dalam pemakaiannya, arti kata annusyuuz ini kemudian
berkembang menjadi al-’ishyaan yang berarti durhaka atau tidak patuh.
Menurut terminologis, nusyuz
mempunyai beberapa pengertian di antaranya; Menurut fuqaha Hanafiyah seperti
yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang
terjadi diantara suami-isteri.
Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa
nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu
ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan ketidaksenangan dari pihak isteri atau
suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah
“Mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi
ketentuan Allah dari pada taat kepada suami.”
Nusyuz menurut Slamet Abidin dan
Aminudin adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Apabila
istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum
syara’, maka tindakan itu dipandang durhaka. Isteri yang melakukan nusyuz dalam
Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak
mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin
kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur
keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.
Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa nusyus adalah adanya perilaku mendurhakai baik itu dari pihak
suami atau istri yang terjadi karena tidak melakukannya hak dan kewajiban
masing-masing.
B.
Macam
macam Nusyuz
Nusyus dibagi menjadi dua macam.
Pengertian nusyu yang selama ini diketahui hanya dilakukan istri terhadap
suaminya, ternyata tidak demikian. Sang suamipun juga dapat melakukan nusyus
terhadap istrinya. Hal ini didasarkan pada QS. An Nisa ayat 34 dan 128.
Pembagiannya adalah sebagai berikut;
1.
Nusyuz istri terhadap suaminya.
Nusyuz disini memiliki arti
kedurhakaan istri terhadap suaminya. Hal ini kerap ditemui dalam rumah tangga
dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan, ketidak patuhan dan lain
sebagainya yang mengganggu keharmonisan rumah tangga.[2]
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
Saleh
bin Ganim al-Saldani, menjelaskan secara rinci mengenai kriteria tindakan istri
yang termasuk ke dalam perbuatan nusyuz menurut para ulama mazhab, yaitu
sebagai berikut :
a. Menurut ulama Hanafi : Apabila seorang
istri (perempuan) keluar dari rumah suami tanpa izin suaminya dan dia tidak mau
melayani suaminya tanpa alasan yang benar.
- Menurut
ulama Maliki : seorang istri dikatakan nusyuz apabila ia tidak taat
terhadap suaminya dan ia menolak untuk digauli, serta mendatangi suatu
tempat yang dia tahu hal itu tidak diizinkan oleh suaminya, dan ia
mengabaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, seperti tidak mandi janabah,
dan tidak melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.
- Menurut
ulama Syafi’i, seorang stri dikatakan nusyuz apabila istri tersebut tidak
mematuhi suaminya dan tidak menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang
berkaitan dengan hak-hak suaminya serta tidak menunaikan kewajiban agama
lainnya.
- Sedangkan
menurut ulama Hanbali, seorang istri dikatakan nusyuz apabila istri
melakukan tindakan yang tidak memberikan hak-hak suami yang wajib
diterimanya karena pernikahan
Dari
uraian di atas, kriteria nusyuznya seorang istri menurut ulama mazhab adalah
sebagai berikut :
a. Istri menolak ajakan suami untuk
bersetubuh, tanpa alasan
yang dibenarkan oleh syara’.
- Istri
keluar rumah tanpa izin suami atau tanpa alasan yang benar, serta ke
tempat yang telah dilarang suami.
- Istri
meninggalkan kewajiban agama.
- Istri
tidak berpenampilan menarik seperti yang diinginkan oleh suami.[3]
Nusyuz dapat terjadi kapan saja dalam kehidupan rumah tangga, besar
peran untuk saling memahami agar hal ini bisa diminimalisir. Ketika hal ini
terjadi pada seorang istri maka sang suami berkewajiban untuk mencari akar
permasalahannya. Dari QS. An Nisa tersebut ditawarkan beberapa opsi untuk
memecahkan permasalahan tersebut diantaranya adalah;
a. Istri diberikan nasihat
dengan cara yang ma’ruf. Diharapkan dengan cara ini istri bisa kembali sadar
akan kesalahan yang ia lakukan.
b. Pisah ranjang. Berpisah
ini dilakukan dengan pasangan ini tidak tidur bersama, saling memalingkan atau
tidak berhubungan seksual. Cara ini merupakan hukuman yang bersifat psikologis
agar dalam kesendiriannya, sang istri bisa melakukan introspeksi diri. Apabila
sang istri mencintai suaminya, maka hal ini akan terasa berat sehingga ia akan
kembali baik.
c. Pukulan yang tidak
menyakitkan. Ini merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh suami apabila
istri tidak mampu ditundukan ke dalam kebenaran setelah istri tidak mampu
diberi nasihat, atau berpisah. Namun yang menjadi catatan ialah tidak boleh
sampai menimbulkan kecacatan pada sang istri, dan tidak pada alat vital.
Rasulullah bersabda “pukullah perempuan perempuan itu jika
ia mendurhakaimu dalam kebaikan dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”[4] Imam
Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul
seseorang jika ia melanggar kewajiban Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini
dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan
para istri dengan maksiat dosa besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumannyapun,
suami sendiri yang melaksanakannya, bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal
itu tanpa proses pengadilan, tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah
betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.
2.
Nusyuz suami terhadap isteri
Kemungkinan nusyuz tidak
hanya dari pihak isteri namun, dapat juga dari pihak suami. Selama ini,
disalahpahami bahwa nusyuz hanya dari pihak istri saja. Padahal di dalam Al
Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam
surat An Nisa’ ayat 128:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَا فَتْ مِنْ بَعْلِهَا
نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا
صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وأُ حْضِرَتِ الْأَ نْفُسُ الشُّحُّ وَإِنْ تُحْسِنُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَا نَ بِمَا تَعْمَلُوْنض خَبِيْرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga kamu
bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Nusyuz suami terjadi bila ia tidak
melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang
bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat
nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya
dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu
yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar,
menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam
waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.[5]
Dalam hadist Rasul SAW, diantara
kewajiban suami terhadap isteri adalah Pertama, memberi sandang dan
pangan. Kedua, tidak memukul wajah jika istri sedang nusyuz, ketiga,
tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang dibencinya. Keempat,
tidak menjauhi isteri atau menghindari isteri kecuali didalam rumah.[6]
Adapun suatu solusi dari
nusyuz suami terhadap istri adalah dengan jalan perundingan yang membawa kepada
perdamaian, perundingan ini dapat dilakukan oleh suami istri saja ataupun jika
tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, dapat menunjuk seorang hakam
yang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi masalah keluarga
tersebut, Hakam ini bisa datang dari
keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan
Agama (KUA), diharapkan dengan
adanya hakam dalam perundingan tersebut dapat menumukan solusi sehingga suami
tidak sampai menceraikan istrinya.
Untuk kemaslahatan
Dua Pihak
Tiada tempat disini
untuk kesombongan, kecongkakan, dan merasa tinggi. Adapun hubungan kekeluargaan
tidak terkandung disini. Akan tetapi, butuh pengabaian dan saling rela,
melembutkan hati, menghibur lara terhadap luka, dan mempererat persahabatan.
Suami yang berfikir baik adalah seseorang
yang mampu terhadap istrinya dengan merekatkan perbedaan antara mereka, merasa
luas pada kebaikan, meninggalkan tip daya untuk memperoleh kembali cintanya,
dan bekerja dengan perasaannya sehingga tinggilah kemampuan istri dan bertambah
cintanya. Ia melihat dengan jiwa ikhlas dan ruh suci.[7]
C.
Dasar Hukum
Timbulnya konflik
dalam rumah tangga tersebut akhirnya kerap kali mengarahkan pada apa yang
disebut dalam fiqh nusyuz. Nusyuz hukumnya haram.[8]
Allah telah
menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak mempan
dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran
terhadap hal-hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib
dilakukan. Hal ini dapat dikemukakan dalam al Quran surat an Nisa ayat 34.
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kamu wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka ditemat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkan. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Maha Besar.” (Q. S an Nisa: 34)
Ayat tersebut sering digunakan
sebagai landasan entang nusyuznya istri terhadap suami, meskipun secara
tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz istri tersebut
melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaikan ketika isteri sedang
nusyuz. Dalam ayat tersebut, dapat ditarik beberapa pemahaman mengenai
kandungan hokum yang terdapat dalam ayat tersebut:
1.
Kepemimpinan rumah tangga
2.
Hak dan kewajiban suami istri
3.
Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri.
Beberapa hadis yang berkaitan dengan
nusyuz, yaitu sebagai berikut: hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
Ketika seorang sahabat Rasulullah
salah seorang guru Naqib mengajarkan agama kepada kum Anshar, bernama Sa’ad bin
Rabi’I bin Amr, berselisih dengan istrinya bernama Habibah binti Zaid bin Abi
Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah nusyuz terhadap suaminya, lalu Sa’ad
menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah kehadapan Rasulullah SAW
ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukn hal tersebut. Kata ayahnya: disekatidurina
anakku, lalu ditempelengnya. Serta merta Rasulullah menjawab: biar dia balas
(qishas). Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai
hukuman, tetapi ketika bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi maka
berkatalah Rasulullah SAW: Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan
Tuhan lah yang baik.
Dalam hadis tersebut tentang
penafsiran Ibnu Abbas meskipun Q. S An Nisa: 34 membolehkan pemukulan terhadap
istri akan tetapi tidak boleh bersifat menyakita atau membuat sang istri
menderita.
Selain itu, Al Qurtubi menyatakan
bahwa: “pemukulan disini adalah pukulan yang tidak menyakiti dan ini merupakan
tindakan yang mendidik dan dimaksudkan untuk merubah perilaku sang istri.[9]
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam),
Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan
istri.
Pasal 80
1)
Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh suami dan istri.
2)
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keprluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3)
Suami wajib memberikan penndidikan agama kepada
istinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa, dan bangsa.
4)
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman istri
b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya
pengobatan bagi istri dan anaknya;
c.
Biaya pendidikan bagi anak.
Pasal 83
1)
Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti
lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam;
2)
Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga dengan sebaik-baiknya;
Pasal 84
1)
Istri dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
2)
Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap
istrinya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal
untuk kepentingan anaknya.
3)
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2)diatas berlaku
kembali setelah istri tidak nusyuz
4)
Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari istri
harus didasarkan atas bukti yang sah.[10]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Nusyuz merupakan
suatu tindakan istri yang dapat diartikan menentang atau membandel atas
kehendak suami, begitupun sebaliknya. Tentu saja sepanjang kehendak tersebut
tidak bertentangan dengan hokum agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan
atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan
penolakan tersebut bukan termasuk nusyuz (kedurhakaan).
Macam-macam nusyuz
yaitu nusyuznya istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri. Jika
terjadi nusyuz, maka penyelesaiannya yaitu dengan cara yang pertama, dengan
nasehat, kedua berpisah dengan memisahkan tempat tidur, ketiga yaitu dengan
pukulan ringan selain wajah dan bagian kepala (apabila yang melakukan nusyuz
adalah istri). Sedangkan jika yang melakukan adalah suami, maka cara
penyelesaiannya adalah seorang istri mengajak musyawarah suami untuk
menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan
yang kedua adalah menghadirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk
berunding.
[1]Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta :
Pustaka
Progressif, 1997), Hal. 1418-1419
[2] Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.209
[3] makalah.blogspot.com/2015/02/makalah-tentang-nusyuz-lengkap.html?m=1
diakses
pada hari Selasa pukul 13.45 WIB.
[4] Ali Yusuf
As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Remaja Rosda
karya, 2012), hal. 309
[5] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 193
[6] Amir
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ..., hal.
211
[7]Ali Yusuf
As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 321
Tidak ada komentar:
Posting Komentar