BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata Ikhlas pasti sudah tidak asing
lagi di telinga kita. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin sering kali kita
mengucapkan kata ikhlas. Setiap perbuatan hendaknya di dasari dengan niat
ikhlas. Karena, ikhlas bisa menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya suatu
perbuatan. Namun apakah kita sudah mengerti apa arti ikhlas yang sebenarnya
atau hanya sekedar ucapan.
Seperti yang kita ketahui ikhlas
merupakan salah satu amalan hati yang utama dan pokok. Semua amalan yang di
kerjakan manusia tidak akan berarti apa-apa tanpa dilandasi rasa ikhlas. Maka
dari itu, betapa pentingnya rasa ikhlas selalu tertanam dalam hati. Supaya dapat menanamkan rasa
ikhlas di hati tentunya perlu ada nya pemahan tentang ikhlas yang lebih dalam.
Rasa ikhlas sangat penting dimiliki
oleh setiap orang terlebih lagi bagi seorang pendidik. Seorang pendidik yang
tidak memiliki rasa ikhlas dalam mendidik tentunya akan sangat berat menjalani
kehidupannya sebagai seorang pendidik. Begitu pentingnya kedudukan ikhlas, maka
tidak sedikit pula ayat Al-Qur’an dan hadis yang berbicara tentang ikhlas.
Oleh karena itu, kami tim penyusun
makalah akan mengupas lebih dalam mengenai ikhlas yang diharapkan dapat membuat
para pembaca lebih mengerti makna ikhlas sehingga dapat diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ikhlas?
2. Apa saja hikmah dari ikhlas?
3. Bagimana kriteria pendidik yang ikhlas?
4. Apa saja contoh perilaku ikhlas dalam kehidupan sehari-hari?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ikhlas.
2. untuk mengetahui hikmah ikhlas.
3. untuk mengetahui kriteria pendidik yang ikhlas.
4. untuk mengetahui contoh perilaku ikhlas dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas
Ikhlas secara bahasa adalah suci (ash-shafa’), bersih (an-naqi),
dan tauhid. Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah sucinya niat, bersihnya
hati dari syirik dan riya serta hanya menginginkan ridha Allah semata dalam
segala kepercayaan, perkataan, dan perbuatan.[1]Tempat
ikhlas adalah di dalam hati, yang berarti berkaitan dengan niat dan tujuan.[2]
Ikhlas terkait dengan niat mengerjakan sesuatu. Dalam konteks
Islam, ikhlas terkait dengan pekerjaan ibadah. Ibada adalah bentuk ketaatan,
perendahan diri, dan pengagungan. Pelaku ibadah adalah makhluk dan obyeknya
aalah Allah SWT. Dalam konteks ibadah, ikhlas berarti memurnikan pekerjaan itu
sebagai bentuk ketaatan, perendahan diri, keundukan, dan pengagungan kepada
Allah dan tidak dicampuri dengan niat-niat yang lain. Ibnu Qayyim
mendefinisikan ikhlas,
اِفْرَادُ اْلحَقِّ سُبْحَا نَهُ بِاْلقَصْدِ فِي الطَّاعَةِ
Mengesakan
Allah yang hak dalam berniat melakukan ketaatan,bertujuan hanya kepada-Nya
tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Sebagaian ulama
berpendapat bahwa ikhlas adalah:
اَلاِخْلَاصُ اَنْ لَا تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شَاهِدًا
غَيْرَاللهِ وَلَا مُجَازِيًا سِوَاه
Ikhlas
adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan tidak pula
mencari pembalas selainNya.
Keikhlasan dapat dirusak dengan mencampuradukkan antar urusan
ibadah dengan dunia. Pekerjaan ibadah yang seharusnya murni sebagai sebuah
ketaatan kepada Allah malah dijadikan sebagai ketaatan pada selain Allah. Pekerjaan
ibadah yang seharusnya untuk mengharap ridha dan pahala pada Allah, diubah
menjadi pekerjaan dunia yang upahnya segera dibayarkan di dunia. Contoh hal ini adalah berzakat yang
seharusnya sebagai pekerjaan ibadah berubah menjadi pekerjaan dunia, karena
motivasinya agar yang diberi zakat menaruh hormat kepada si pemberi. Demikian
juga ketika seseorang menunaikan ibadah haji dengan harapan di dunia ia
dipandang sebagai orang yang keberagamaan dan status sosialnya tinggi oleh
masyarakat.[3]Karena
itu maka seorang mukmin sejati haruslah benar-benar cermat dalam menjaga
hatinya, jangan sampai terbesit sifat riya’ atau keinginan pamer pada saat
melakukan amal ibadah. Satu-satunya tujuan bagi orang yang ikhlas beriman
kepada Allah SWT hanyalah untuk mendapatkan keridhoan Allah Taala semata.[4]
Pada intinya, ikhlas adalah koreksi diri terus menerus untuk Allah
dan melupakan semua peluang nafsu. Orang yang ikhlas tidak menaati hawa
nafsunya sama sekali bahkan memberontaknya. Orang yang ikhlas senantiasa
membersihkan dirinya dari syahwat pujian, sanjungan, dan riya serta menyucikan dirinya
dari mengejar dunia yang akan membuatnya binasa di dunia dan di akhirat.[5]
B.
Hikmah Ikhlas
1.
Jalan selamat di akhirat hanya dapat diraih dengan ikhlas.
2.
Kehidupan kalbu dan kebebasannya dari kesedihan didunia ini tidak
dapat direalisasikan kecuali dengan keikhlasan.
3.
Sumber rizki pahala yang besar dan meraih kebaikan adalah dari
keikhlasan pelakunya.
4.
Ikhlas dapat menyelamatkan pelakunya dari adzab yang besar pada
hari pembalasan, karena sesungguhnya Nabi Saw telah memberitakan kepada kita
tentang mula-mula makhluk Allah yang dibakar oleh api neraka pada hari kiamat
nanti, bahwa mereka adalah orang yang rajin berinfaq, mengeluarkan sodaqahnya
agar dikatakan sebagai seorang yang dermawan, orang yang tekun mempelajari
ilmu, kemudian mengajarkannya agar dikatakan sebagai orang alim, dan orang yang
giat berjihad di medan peperangan agar dikatakan sebagai seorang pemberani.[6]
C. Kriteria Pendidik yang Ikhlas
Mengajar ilmu syariat bisa masuk wilayah ibadah dan bisa masuk
wilayah muamalah tergantung niat pelakunya. Apabila pelaku berniat menyampaikan
ajaran Allah (dakwah) dan semata-mata melaksnakan perintah Allah dan hanya
mengharap pahala dan ridhaNya maka dianggap sebagai ibadah. Pelaku tidak peduli
diberi upah atau tidak tetap melaksanakan tugas mengajarnya. Pendidik seperti
ini berhak mendapat pahala di akhirat.
Dan apabila pelaku meniatkan aktivitasnya sebagai sebuah kegiatan
transaksi dengan mengambil keuntungan duniawi, seperti upah maka termasuk
wilayah muamalah duniawi. Transaksi seperti ini termasuk transaksi ijarah (menjual
manfaat atau jasa). Pelaku menjual jasa mengajar dan pengguna memberi upah
sesuai persyaratan yang disepakati. Pendidik seperti ini hanya mendapatkan upah
duniawi. Untuk mendapat upah akhirat, pendidik perlu bekerja dengan jujur dan
amanah agar mendapatkan imbalan atas kejujuran dan amanahnya
itu.
Adapun pendidik yang meniatkan ibadah, diperbolehkan menerima upah
tanpa berniat mencari upah. Pendidik seperti ini tidak terpengaruh dengan upah,
diberi upah atau tidak, dia tetap mengajar.[7]
D. Sikap Ikhlas Dalam Kehidupan
Sehari-hari
Berdasarkan Q. S An Nisa ayat 146, perilaku ikhlas dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, sebagai berikut:
إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُوا
وَأَصْلَحُوا وَٱعْتَصَمُوا بِٱللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ
فَأُولَٰئِكَ مَعَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا
عَظِيمًا
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan
berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka
karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak
Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
1.
Gemar melakukan perbuatan terpuji dan tidak dipamerkan kepada orang
lain.
2.
Ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT. semata-mata hanya
karenaNya.
3.
Tidak mengharapkan sanjungan atau pujian dari orang lain.
4.
Selalu berhati-hati dalam bertindak atau berperilaku.
5.
Tidak menghitung-hitung atau mengungkit-ngungkit kebaikan yang
pernah diberikan kepada orang lain.[8]
[2] Sa’id Hawwa, Kajian
Lengkap Penyucian Jiwa Tazkiyatun Nafs, ( Jakarta Selatan: Pena Pundi
Aksara, 2006) hal. 342.
[3] Nasiruddin, Akhlak
Pendidik (Upaya untuk membentuk Kompetensi Spiritual dan Sosial),
(Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015) hal. 19-21.
[6]Muhammad bin Shalih
Al-Munajjid, Silsilah Amalan Hati, ( Bandung: Irsyad Baitus Salam,
2006), hlm. 21-23.
[7]Nasiruddin, Akhlak Pendidik
(Upaya untuk membentuk Kompetensi Spiritual dan Sosial), (Semarang: CV.
Karya Abadi Jaya, 2015) hal.36-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar